Rabu, 19 Mei 2010

Tuhan Jauhkan Cintaku Kepada Wanita

Sore Bersama Merpati Putih

Hari semakin sore, senja akan datang dan sekarang aku menuju pulang dengan keadaan yang amat sangat letih. “Haa akhirnya, sampai juga dirumah”desahku dalam hati. “Bunga-bunga ditaman rumah banyak yang layu, memang beberapa hari ini kak Icha tidak menyiramnya, pantesan jadi layu”gerutuku dalam hati

Setelah memasuki gerbang rumah dan sedikit menikmati taman depan, aku ingin bergegas masuk ke dalam rumah dan meminum sebotol air es sampai habis, karena aku sudah menahan haus dan letih yang sudah aku tahan dari tadi, “ huu latihan karate hari ini sungguh melelahkan” keluhku dalam hati

Perlahan aku melangkah memasuki rumah dan perasaanku agak sedikit tidak enak, perasaanku sedikit mengganjal dan tidak seperti biasanya. Ketika aku melangkah sedikit demi sedikit, ternyata, “Ya Tuhan” hentakku dalam hati sembari aku terperanjat setelah melongok pintu rumah.

“Apa yang barusan terjadi ” fikirku dalam hati dikarenakan aku melihat meja ruang tamu terguling sampai ada bagian kayunya yang patah dan pecahan kaca berserakan kemana-mana begitu juga guci besar yang menghiasi ruang tamu juga hancur berserakan dan bercampur aduk dengan guci-guci fas bungah ruang tamu.

“Ibu, kak Icha” tersentak aku karena teringat kepada kakak dan ibuku, akupun bangun dari bayang-bayang yang menghinggapi lamunanku aku tak percaya dengan pandanganku yang barusan akulihat. Seolah-olah ini adalah mimpi buruk.

“Ibuuuuu?, Kak Ichaaaa? Bi’ Ijaaaa” panggilku pelan dan berkali kali, akupun berlari kesana kemari mencari Ibu dan ka Icha di dalam rumah tetapi dilantai bawah aku tidak menemuakan kedua orang yang aku sayangi itu, maka aku bergegas naik kelantai dua ke kamar ka Firda, kak Firda adalag kakak pertamaku dan sekarang dia lagi mennyelesaikan program Pasca Sarjananya di Jerman

“Kak Icha?” panggilku seraya aku membuka pintu kamar Kak Firda dan aku melihat kak Icha memeluk Ibu dengan tangisnya yang bersenggukan serta tubuhnya yang berguncang – guncang dan yang tak kalah mengkawatirkannya adalah Ibu yang berada dalam pelukan Ka’ Icah, pandangannya kosong, hampa dengan wajah yang pucat pasih serta dihiasi oleh tetesan air mata yang sudah mengering.

Aku bergegas memeluk kedua duanya seraya aku bertanya dengan pelan dan penuh kasih sayang ”Ada apa Ibu, ada apa? ” aku bertanya sambil memegang kedua pipi Ibu dengan kedua telapak tanganku “Ada apa Ibu? ” tanyaku kembali sembari aku mencium pipi dan keningnya, tapi Ibu tetap diam dengan pandangannya yang hampa dan kosong, dan aku berkali-kali mencium pipi dan mengecup keningnya tanpa berkata apapun karena aku tau bahwa Ibu tidak akan mau bicara untuk sesaat, sekali lagi aku memeluk mereka berdua untuk sesaat dengan kondisi Kak Icha yang masih menangis sesenggukan sembari memeluk Ibu dan Ibu yang masih terdiam dengan pandangan matanya yang kosong.

Akupun tetap berusaha untuk mengetahui apa yang terjadi dan akupun memegang kedua pipi kakakku dengan kedua telapak tanganku seraya mengangkat kepalanya yang masih melekat di tubuh Ibu.

aku mengusap air mata yang menggenangi matanya dan setelah itu aku kecup keningnya serta aku berkata “ apa yang terjadi di rumah ini kakak?”

kakak hanya menggelengkan kepala, secara sepontan akupun memeluknya karena aku tidak tahan melihat kakakku menangis terseduh-seduh.

“ Baiklah klo tidak ada yang mau bicara, aku akan mencari Ayah karena aku tau Ayah sudah pulang dari kantor” akupun berdiri sambil berucap “Ayah lupa tidak langsung memasukkan mobilnya ke dalam garasi” sembari aku perlahan meninggalkan Ibu dan Ka Icha.

Tanpa aku duga Ibu dengan suara pelan dan sedikit tertahan memanggilku “Evan? Kemari nak”

aku bergegas kembali kehadapan Ibu dan bertanya “ iya Bu, ada apa?, apa yang terjadi dengan Ibu dan apa yang terjadi dengan Ka Icha dan kenapa ruang tamu ko acak acakan, Bi Ijah mana? Ayah marah lagi kah? Tolong Ibu cerita sama Evan!”

Ibu berkata dengan sedikit menahan tangis yang sesenggukan, seakan-akan tangisnya berhimpitan didalam dada sehingga sulit untuk diluapkan” tidak apa-apa Evan, Ibu dan Ayah tidak apa-apa, hanya saja ada sedikit salah paham diantara Ibu dan Ayah, jadi Evan juga harus berfikir lebih jernih dan jangan sampai keadaan semakin memburuk”

“Tenanglah Bu, Evan akan berfikir jernih dan mengontrol diri Evan” sahutku sembari mencium kening ibu sebagaimana yang aku lakukan sebelum berangkat sekolah.

Dengan bergegas aku melangkah menuju taman belakang untuk menemui Ayah, karna instingku mengatakan Ayah pasti ada di taman belakang dan dugaanku tepat sekali aku melihat Ayah sedang bersandar diujung beranda tepat menghadap kolam ikan yang dihiasi air terjun buatan dari batu alam yang tersusun rapi sehingga kelihatan lebih mengkilap bila diterpa matahari. Disitu aku melihat Ayah termenung dengan sorot mata yang kosong dan memandang terus kearah kolam ikan seolah olah ayah menikmati suara air yang berderak, lenggak lenggok ikan yang berwarna warni, dan nyanyian gemercik air yang diiringi tarian ikan yang berlompatan diatas permukaan air kolam itu. Sejenak aku memandangi Ayah yang merenung didekat kolam ikan, didalam kolam itulah lukisan kegelisahan hati ayah terpampang.

Perlahan kudekati Ayah dan akupun sedikit terhentak untuk kesekian kalinya karena kulihat beberapa goresan luka yang terukir ditangan kanan dan tangan kiri Ayah, tangan Ayah mengalirkan darah segar yang agak sedikir mongering dipinggiran bibir lukanya, seketika itu aku berbali arah menuju kedalam rumah untuk mengambil perban, refanol, betadin dan obat penyembuh luka yang lainnya yang ada di kotak P3K.

Aku bawah obat itu disamping Ayah dan kubersihkan luka-luka pada tubuh Ayah, untuk sesaat kita terdiam pada lamunan kita masing-masing, aku berfikir “kenapa kejadian seperti ini harus terulang kembali, kaca candela, alat-alat elektronik, perabot rumah tanggah, dan sekarang guci-guci serta perabot ruang tamu yang terpecah belah, entah besok apa lagi yang dihancurkan.

Sembari melihat wajah Ayah aku melamunkan, kira-kira apa yang dibayangkan oleh Ayah?, apakah Ayah membayangkan untuk meminta maaf kepada Ibu dan Anak-anaknya ketika makan malam nanti dan mengajak jalan-jalan bersama, entah hanya untuk belanja, beli-beli sesuatu, atau bahkan nonton bersama seperti yang kemaren-maren?, atau Ayah berfikir mencari cara lain untuk meminta maaf karna mungkin yang sudah dilakukannya itu sudah cukup membosankan bagi anak-anaknya?.

Disamping aku mengobati luka-luka Ayah, aku beranikan untuk berbicara meskipun aku ragu dan aku takut, tapi aku yakin semarah apapun ayah beliau tidak akan sampai hati untuk menyakiti, karena sekian lama ini Ayah tidak pernah menyakiti anak-anaknya dan Ibupun sering bercerita bahwa semenjak pertama Ayah bertemu Ibu, sampai sekarangpun Ayah tidak pernah menyakiti Ibu, hanya saja ketika ayah marah sering berkata keras dan menghentak dan kalau sudah tidak tahan akan dilampiaskan kebenda- benda sekitarnya, membantinglah, memukulah, menendanglah, dan se-enaknya saja, tapi untung bukan kita yang disakiti, hanya saja ke barang-barang atau perabotan rumah.

“Apa ayah nggak ngerasain sakit dengan luka- luka seperti ini?” tanyaku sembari mengobati luka-lukanya.

“Sakit Van” jawab Ayahku datar.

“Terus kalau sakit kenapa ayah melukai diri sendiri”

“Daripada Ayah melukai Ibu dan anak-anak Ayah, lebih baik Ayah melampiaskan semua ini ke diri Ayah sendiri” jawab Ayah dengan nada yang sedikit menyesal

“Dengan seperti ini apa Ayah tahu kalau Ibu tidak tersakiti?, mungkin secara fisik tidak Ayah, tapi secara batin apakah Ayah tahu?” jawabku datar dan sedikit ragu-ragu karena takut menyinggung perasaan Ayah.

Seketika Ayah terdiam dan mengalihkan pandangannya ke sarang merpati putih yang tergantung tepat dipojok kiri kolam ikan, dengan mata yang sedikit berkaca-kaca Ayah memperhatikan dua ekor merpati putih itu, aku pun terdiam dan aku mengerti bahwasannya Ayah masih diselimuti kebingungan dan bayang-bayang yang tidak menentu.

“Aku mau masuk menengok Ibu duluh Yah” pamitku kepada Ayah

“Tunggu duluh Van, Ayah mau ikut bertemu Ibumu”

“lebih baik jangan dulua Yah, karena Ibu juga dalam keadaan labil, Evan takut ada pertengkaran lagi antara Ayah dan Ibu. Pertengkaran ini sudah yang ketiga kali dalam sebulan ini”

“Mudah-mudahan pelukan ayah sedikit meredakan hati Ibumu” jawab Ayah sembari memeluk pundakku.

Aku sedikit memaksa untuk tersenyum dan bilang “Ibu dikamar ka’ Firda bersama ka’ Icha”

Aku berjalan bersama Ayah dengan hati yang sedikit was-was karena aku tidak bisa menduga apa yang akan terjadi setelah ini. Kami saling terdiam hanyut dalam lamunan masing-masing sampai tibahlah dimulut pintu kamar ka’ Firda. Ibu terdiam bersama Ka’ icha. Aku dan Ayah menghampiri mereka berdua yang terduduk disamping ranjang ka’ Firda, Ayah langsung duduk disamping Ibu dan melingkarkan tangan kirinya keperut Ibu bersamaan dengan sebuah kecupan dikepala Ibu. Aku memeluk ka’ Icha yang tersandar di pundak sebelah kiri Ibu seraya mengajaknya berdiri dan meninggalkan kamar ka’ Firda dengan maksud hati “ Biarlah persoalan Ayah dan Ibu diselesaikan mereka berdua karena beliau-beliaulah yang lebih mengerti”. Sejenak ka’ Icha ragu untuk berdiri tapi aku meyakinkannya untuk yang kedua kali dan ka’ Icha ikutan berdiri dan berpindah di kamar ka’ Icha sendiri yang kebetulan bersebelahan dengan kamar ka’ Firda

.Pintu kamar ka’ Firda dan ka’ Ichapun terbuka lebar, jadi terdengan samar-samar suara Ayah meminta maaf kepada Ibu.

Setelah menuntun ka’ Icha kekamarnya aku langsung mengambilkan ka’ Icha segelas air putih dilemari es yang kebetulan ada di setiap kamar kami termasuk kamar ka’ Icha. Kusodorkan segelas air es ke ka’ Icha lalu aku menutup sedikit pintu kamar ka’ Icha dan setela itu aku duduk disampingnya.

“Apa lagi sih yang terjadi dengan Ayah dan Ibu ka’?” tanyaku ke ka’ Icha untuk membuka sebuah pembicaraan.

“Entahlah” jawab ka’ Icha sambil mengelengkan kepalanya

“Lalu apa yang terjadi dengan ruang tamu depan yang berantakan itu ka’?”

“Entah lah dik, kakak bingung. Tiba-tiba Ayah datang dengan membawa rangkaian bungah dengan vas guci berwarna merah muda. Ayah datang dengan emosi yang meledak – ledak dan melemparkan vas buangah itu didepan Ibu yang kebetulan duduk-duduk diruang tamu bersama kakak. Ibu seketika kaget dengan perbuatan Ayah dan Ibu berdiri dari duduknya dengan kaget. Ayah marah-marah dengan menunjuk-nunjuk vas bungah yang dibantingnya itu”.

“Adik belum mengerti, apa yang menyebabkan Ayah dan Ibu bertengkar kak” jawabku sedikit bingung

“Rangkaian bungah dengan vas guci berwarna merah muda itu dek”

“Memang kenapa kak?” tanyaku dengan sedikit penasaran dan mengerutkan jidat. Dan aku sedikit menemukan benang merah yang kusut yang berlabelkan unsur cemburu dan salah pahan.

“Kebetulan Ibu tadi tidak pergi kebutiknya karena gak enak badan, dan Om Boy kan barusan buka toko bungah dan ibu dikirimin rangkaian bungah dengan vas warna merah mudah yang ditujukan kealamat butik Ibu dan kebetulan Ayah disana untuk mengambil jas barunya dan Ayah cemburu karena salah paham”

“Salah pahamnya kenapa kak?, kan om Boy agak kefeminim-feminan, dan lagiankan Ayah sudah mengenalnya ” selahku dengan nada penasaran.

“Iya dik tapi yang nganterin tadi bukan om Boy tapi staffnya yang kata Ayah dia genit dan sok kenal sama Ibu dan tidak tau kalau Ayah itu suaminya dan sedikit memuji-muji Ibu dihadapan Ayah dan ada beberapa kata-kata yang membuat Ayah tersinggung dan cemburu”

“Ka Icha tau itu semua dari mana?”

“ketika Ayah bertengkar dengan Ibu tadi, dan Ayah meluapkan segala emosinya dan mengucapkan semua itu, kakak mencoba menahan Ayah yang sedang khilaf dan melerai mereka berdua hingga kakak terombang ambing. Kakak hanya seorang perempuan yang lemah” berkata kakak sembari melinangkan air matanya yang bening dan jernih bagaikan air telaga murni ”kakak hanya bisa menyeret Ibu ke kamar kak Firda untuk menghindari Ayah, dan ruang tamu kita itulah yang menjadi pelampiasan amarah dan rasa cemburu Ayah” sambung kak Icha kembali dengan menahan tangisnya yang melelehkan air mata yang sejernih embun pagi, dan aku hanya bisa mendekapnya dan merengkuh kepala kak Icha merapat didadaku untuk merasakan degup jantungku yang bergetar dan berdecak kencang. Tangisan Kak Icha bergemuruh bersama dengan degub jantungku yang tergetar bersamaan dengan itupulah terdengar suara adzan yang membangunkan bulu romaku. Suara adzan itu seolah-olah merasuk ke jantung dan tulang sumsumku, ada sebuah getaran dari suara panggilan adzan itu sehingga aku merasakan tiupan angin yang semilir menerpa tubuhku dan ada ketentraman yang merasuk kedalam jiwaku. aku belum pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya. Tanpa sadar aku menghela nafas, dan didalam hati ini meminta ampunan serta petunjuk kepada tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang yang tak perna pilih kasih atau pilih sayang.

“Kak Icha sudah jenuh dik dengan semua ini” suara kak Icha memecahkan lamunanku

“Ini pertenkaran yang ketiga dalam sebulan ini dik” lanjut kak Icha dengan suara memelas

“sabarlah kak, segala sesuatu pasti akan berakhir, termasuk pertengkaran ini”

“ Tapi bulan-bulan sebelumnya juga seperti ini dik, sampai kapan keadaan seperti ini akan berubah?”

“Iya kak, adik mengerti kita harus saling menguatkan ya kak?”pintaku kepada kakak seraya menyabarkannya. Mungkin aku kelihatan jauh lebih tenang dikarenakan aku tidak melihat kejadian ini tepat didepan mataku.

“ kakak tidak tau, semua ini berawal dari mana. Masih ingat gak kamu dengan pertengkaran yang dulu, disaat ibu bermitra bisnis dengan seorang desainer dan kemudian menimbulkan pertengkaran hebat hingga Ibu jatuh pingsan?.”

“Iya kak, aku ingat. Dua minggu kemudia disusul dengan kejadian ayah kecelakaan didalam satu mobil dengan seketaris kantornya di daerah trawas sesudah menghadiri rapat dan menjadi bahan gosib serta pertengkaran yang meresahkan. Dan pertengkaran selanjutnya karena istri bapak kepala desa melabrak Ibu karena cemburu meskipun Ibu juga tidak berbuat apa-apa dan semua tuduhan yang dituduhkan ke Ibu tidak terbukti dan menjadikan nama baik Bu Mirnah istri kepala desa itu semakin terpuruk dan saking takutnya dituntut balik sama Ibu karena pencemaran nama baik, Bu Mirna meminta maaf dan semua masalah agar diselesaikan secara kekeluargaan, huuu lucu sekali” gumamku dengan tersenyum simpul.

“ Iya dik, belum lagi pertengkaran-pertengkaran yang barusan terjadi dikarenakan hasutan tetangga yang bilang ke Ayah kalau mama sering diantar jemput sama laki-laki, padahal itukan mas Prapto, asisten marketing yang kebetulan baru diangkat sama Ibu dan beliau sekarang juga masih menangani butik yang dirintis oleh Ibu” ulas kak Icha dengan nada gemas “Mas Prapto dulukan juga perna digosip sama tetangga-tetangga sebelah, dulu yang perna digembor-gemborin kalau Ibu pernah terliat di Pasar Kain Kapasan bersama orang lain yang tidak lain adalah mas Prapto yang sedang memilih kain untuk seragam pekerja pabrik roti. Kadang kalau kakak teringat itu, kakak jadi sebal sendiri dek”

“Sudahlah kak, toh baik secara langsung atau gak langsung, mereka yang berbuat seperti itu juga gak enak sendiri sama keluarga kita, dan banyak juga yang meminta maaf secara langsungkan ke Ibu atau Ayah?”

“iya juga sih dik” jawab kak Icha singkat

“ Ya sudah kak, Aku mau lihat Ayah dan Ibu, apa masih di kamar Kak Firda”

Aku bangun dari ranjang kak Icha dan berjalan keluar kamar kak Icha untuk melihat ke kamar Kak Firda tempat Ayah dan Ibu terakhir kali kami tinggalkan.

Aku menengok kamar kak Firda pelan-pelan

“Oh, sudah gak ada, berarti sudah pindah” gumamku dalam hati sembari aku keluar dari kamar kak Firda dan menutup kamar ka Firda.

“Ayah dan Ibu sudah gak ada dikamar kak Firda” ucapku ke kak Icha dengan melongokkan kepalaku ke kamarnya” Ya sudah ya kak, aku mau ke kamarku aku belum mandi soreh”.lanjutku

Aku masuk ke dalam kamarku dan kuteguk segelas besar air dingin di dalam lemari esku, dengan segala resah, capek, bingung yang tercampur dengan berbagai persoalan akhirnya aku merebahkan diriku di atas ranjang, lamunanku melayang jauh merasakan segala kepenatan yang terjadi dirumah ini, sekilas aku mengingat perkataan kak Icha bahwa dia sudah jenuh dengan semua ini, semua pertengkaran dan perselisihan yang terjadi. Denga jiwa dan raga yang tidak menyatu dalam diriku, aku berdiri dan ingin berendam air hangat di kamar mandi.

Makam malam terasa begitu canggung, Ayah terdiam, ibu terdiam juga dan kaki cha terdiam, sekilas bi Ijah mengantarkan sambal terasi yang barusan di buatnya dari dapur. Dengan raut muka yang tidak biasanya bik Ijah menghidangkan sambal terasi kesukaanku.

“Bi Ijah” panggilku singkat

“Iya Mas” jawab bi Ijha

“ambil kursi Bik, duduk disini, makan bareng sama-sama” pintaku dengan nada datar

“Makasi mas, Bibik makan didapur saja” tolak Bik Ijha

“Ayo Bik gak papa, sekali-kali kita makan bareng” ajak Ibu menyahuti pembicaraan yang sedang berlangsung

“Oala Dek, ko jadi ngerepotin” Kilah Bik Ijha kepad Ibu

“Lho, kenapa repot?, ka Bik Ijha yang masak” Kata papa sambil melirik Ibu.

“Enak aja, inikan masakan Ibu,” Protes Ibu dengan cemberut.

“He he he he, iya- iya, Ayah juga tau kalo ini masakan Ibu” Canda Ayah dengan mengusap usap punggung Ibu.

Sedikit suasana jadi mencair dari kebekuan dan kebisuan makan malam, dikit demi sedikit berubah, tapi hanya Kak Icha saja yang terdiam dengan senyam senyum kecil yang sedikit dipaksakan. Tiba tiba Kak Ichapun ikut komentar

“Bik, ko bengong, makan sini lho dekat aku”

“Iya neng, Iya” jawab Bik Ija

Menyendiri

Pertengakaran demi pertengkaran membuat kami jenuh, Ka Icha menjadi sosok kakak yang sudah berubah jauh dari sifat aslinya, Kak Icha sering kali Berangkat Pagi dan pulang jam 09.00 Malam, itupun langsung masuk kamar dan tidur, jarang sekali Kak Icha mengobrol dengan aku seperti dulu, bahkan sekarang sudah tidak perna kecuali hal-hal yang dia anggap penting, Kak Icha seolah-olah ingin menghindar dari berbagai permasalahan dirumah ini. Sering kali dirumah aku merasa kesepihan, aku habiskan hari-hariku untuk membaca, browsing, terus berlati beladiri, ilmu pedang, tongkat, trisula, tongkat ganda dan apapun itu, aku membaca, browsing dan berlatih bukan karena aku rajin atau ingin menjadi orang yang hebat, melainkan ini hanya sebuah pelampiasan segenap rasa yang terbenam jauh di dalam hati, jiwa ,dan fikiranku.

Dirumah amat terasa sepi, dan hari berganti hari suasana teramat membosankan, Ibu terlalu sibuk dengan bisnisnya, Ayah terlalu sibuk dengan kantornya dan Kak Icha juga terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, tingal Bik Ija yang kadang aku ajak ngobrol, itupun seputar hal-hal disekitar kita.

Dalam kebosanan aku ingin kerumah kakek dikota Mojokerto, apalagi kekek disana mempunyai padepokan yang bernama Macan Loreng yang menjadi kebanggaan Desa Ringin Anom dikota Mojokerto.

“Assalamu’alaikum?”

“Walaikum salam” jawab kakek “ Lho kamu to Van?, sendiri?” Tanya kakek keheranan dikarenakan kami biasanya setiap sebulan sekali selalu menjenguk kakek bersama-sama satu keluarga dan barusan dua minggu kemarin kami menjenguknya satu keluarga.

“Iya Kek, Evan sendiri”

“ya sudah masuk, kamu sudah makan belum” Tanya kakek

“ Sudah kek tadi abis sekolah mampir dulu ke warung”

“Ooooo ya sudah, klo masi lapar ambil sendiri didapur”

“Baik Kek” Jawabku dan aku bertanya ke Kakek dengan malu “Kek hari ini anak-anak Macan Loreng latihan gak kek?”

“Latihan, tapi nanti jam setengah empat sore, memang kenapa Van?” Tanya Kakek heran.

“Eeeeeng, Nanti Evan boleh ikut latiahan gak Kek?

“Tumben kamu ingin ikut latihan beladiri Macan Loreng?, bukannya kamu lebih suka beladiri Karate?” Tanya kakek dengan sebuah senyum yang tertempel diraut mukanya yang teduh.

“Sebenarnya semua Beladiri Evan suka Kek, tapi berhubung di Surabaya belum ada Padepokan Macan Loreng, jadi Evan pilih Beladiri Karate” kilahku kepada Kakek

“Hehehehe, sepertinya kamu sunguh-sunguh ingin belajar beladiri Macan Loreng ya Van?”

“Hehehehehe, Emang Kakek tau dari mana kalau Evan sunguh-sunguh ingin belajar beladiri Macan Loreng?”

“Dari sorot matamu Van.”kata kakek

“Dari sorot mata?” Gumamku dalam hati sambil senyam senyum yang gak berarti

“Ya sudahla cepat ganti pakaianmu, kita latihan sekarang” Sambung Kakek kemudian

“Sekarang Kek?, kan latihannya masih jam setengah empat nanti, sekarangkan masih setengah tiga Kek, masih panas”? keluhkuh dan aku tak tahu apa aku merasa malas atau merasa senang tapi aku sangat bersemangat sekali.

“Kusus kamu cucu Kakek harus satu jam lebih awal, sana cepat ganti, lima menit harus sudah selesai”

“Baik Kek”

Aku bergegas ganti baju dengan baju seragam Padepokan Macan Loreng yang pernah dikasihkan kakek dahulu, dengan pakaian berwarna dasar hitam dan lambang seekor macan yang sedang mengngaung dibelakang punggung serta gambar kepala macan yang dilingkari oleh warna merah, kuning dan hijau melingkar di dada sebelah kiri seolah olah merasuk kedalam jiwaku segala keberanian dan ketangkasan seekor macan disekujur tubuhku.

Dengan langkah tegap aku bergegas keluar menemui Kakek. Aku menghadap dengan segala keyakinan diri dan kemantapan jiwa, dibibir Kakek terlihat sebuah senyum kagum kepadaku seraya berkata.

“Kamu memang benar-benar cucu Kakek, Gagah, tapan, berwibawah, dan tidak punya pacar”

“Ah Kakek bisa aja” Jawabku malu-malu.

“Sekarang coba tunjukkan kepada Kakek segala jurus, tehnik dan apa saja yang kamu dapat dari belajar karate”

“Baik Kek, akan Evan tunjukkan”

Seketika itu aku mengambil ancang-ancang, dengan badan berdiri tegap dan kaki kiri sedikit melebar ke depan serta aku kepalkan kedua tanganku didepan dada seolah-olah adalah perisai tersembunyi, aku menendangkan kaki kananku kedepan dengan tegak lurus menjulang keatas dengan ukuran tinggi mencapai kepala orang dewasa dan diikuti dengan sambaran kaki kiriku sejalan lurus kedepan juga, tendanganku jauh melayang cepat secepat kilat sehingga geseran pada kain celanaku juga sempat berbunyi mengibas-ngibas dan sengaja aku pertunjukkan yang terbaik untuk Kakek. Setelah beberapa kali tendangan kaki kanan kiriku yang menjulang lurus ke depan kini saatnya kuputar balikkan tubuhku kearah berlawanan dengan tendanganku yang tadi. Dan secepat kilat kulangkahkan kaki kiriku kedepan dan kuputarkan badanku yang diiringi dengan sabetan tumit kaki kananku kekiri searah jarum jam sehingga terjadilah tendangan melingkar dengan pusat keseimbangan tertumpu pada kaki kiri dan pusat serangan pada tumit kaki belakang, dengan secepat kilat aku menyabetkat kakiku dan kaki kananku mendarat sejengkal melebar kebelakang dari kaki kiriku, dan kulanjutkan dengan Kaki kanankuku kedepan dan kuputarkan badanku yang diiringi dengan sabetan tumit kaki kiriku kekanan berbalikarah jarum jam sehingga terjadilah tendangan melingkar dengan pusat keseimbangan tertumpu pada kaki kanan dan pusat serangan pada tumit kaki belakang sebelah kiri, dengan secepat kilat aku menyabetkat kakiku dan kaki kiriku mendarat sejengkal melebar kebelakang dari kaki kananku, aku ulangi gerakan itu secara berselang seling dan berturut-turut dan ku ubah gaya seranganku dengan mengombinasikan sebuah loncatan ke atas tanpa merubah gerak kaki dan pusat serangannya melainkan hanya merubah pusat tumpuan kaki menjadi pusat tumpuan disaat mendarat dari loncatan setelah menyerang.

“Bagus, sekarang tunjukkan sebagian keterampilan tanganmu” perintah kakek

Akupun mempertunjukkan sebagian keterampilan tanganku dengan menunjukkan kombinasi pukulan, tangkisan dan tangkisan yang dikombinasi dengan serangan pukulan sekaligus sikutan dan kutunjukan terbaik kepada Kakek, mulai dari pukulan kepalan maupun pukulan telapak tangan yang disamping sejajar dengan jari kelingking, pukulanku melayang terbang searah delapan penjuru mata angin dan aku tidak sadar beberapa mata telah mengawasiku.

“terimalah ini!!” teriak Kakek kepadaku bersamaan dengan dua tongkat melambung ke arahku dan aku bergegas menangkapnya, tapi belum sekejap mata sesudah aku menangkap kedua tongkat sepanjang kurang lebih lima puluh meter itu kake menghujaniku dengan beberapa pukulan yang sengaja dipukulkan kepada tongkatku yang kusilangkan didepan mukaku untuk menangkis serangan, tapi apa daya pukulan Kakek amat keras sehingga tanganku terasa pedih dan aku terhentak beberapa langkah kebelakang. Dengan tenang Kakek membiarkan aku bersiaga lagi dan membiarkanku dalam keadaan siap dan tegap.

“Ayo, gilaran kamu yang menyerang Kakek” perintah kake dengan sedikit senyum dan serius.

Kakek berdiri tegak lurus dan menyilangkan tongkat yang disebelah kirinya dan menyembunyikan tongkat yang berada di tangan kanannya di balik punggung, aku berfikir Kakek tidak akan main-main dengan hal ini karena dari raut mukanya aku lihat Kakek serius. Tidak akan Aku sia-siakan kesempatan ini. aku meloncat mulai menyerang kakek dengan kedua tongkatku, pukulan dan kibasanku keberapa titik pertahanan Kakek hanya ditepisnya dengan satuh tongkat yang terpegang ditangan kiri Kakek dan terkadang tongkat sebelah kanan yang disembunyikan dibalik punggungnya menyambar kaki kiriku dan beberapa kali aku mengadakan serangan, tapi tidak membuakan hasil dan beberapa kali kaki kiriku tersentuh oleh tongkat sebelah kanan Kakek, akan tetapi dengan seperti itu aku mengetahui kelemahanku, bahwasannya pertahanan sebelah kiriku teramat rapuh. Aku dan Kakek sedikit menjaga jarak dan aku melingkarinya sehingga dengan tidak sengaja Kakek juga ikut berputar, dengan raut muka serius Kakek menyilangkan keduah tongkatnya kedepan dan tidak menyembunyikannya lagi di balik punggungnya. Seketika itu pulah ada sedikit ketakutan yang menyelimutiku tapi aku bergegas menenangkan diriku dan mengontrol diriku. Tanpa disangka Kakek menyerangku dengan cepat dan aku bergerak secara reflek menangkis dan menyerangnya, begitu pula dengan Kakek yang segera menangkis dan menyerangku, tak terasa keringat diseluruh tubuhku bercucuran hingga akhirnya aku berhasil memukul tongkat yang disebelah tangan kanan Kakek dengan sekuat tenagah hingga terpental ke atas dan pasti tongkat Kakek akan terjatuh dibelakang posisiku saat ini, tapi tidak disangkah kibasan tongkat tangan kiri Kakek ketangan sebelah kiriku jauh lebih kuat sehingga aku harus menahannya dengan dua tongkatku dan aku terhuyung kesebelah kanan di ikuti dengan loncatan kakek ke depan seperti seekor harimau yang menerkam mangsanya dan setelah meloncat ke depan kakek melakukan koprol lalu mengakirinya dengan posisi jongkok dan menangkap tongkat kanannya yang akan mendarat ke tanah karena sempat melayang ke udara karena hempasanku tadi. Setelah tongkat kanannya tergenggam, Kakek melinting salto kebelakng dan memutar tubuhnya seraya jongkok dan menodongkan tongkat sebelah kirinya keperutku dan menyilangkan tongkat sebelah kanannya di atas kepala seolah olah ingin melindunginya, aku tidak bisa bergerak karena dibuat terkesima oleh gerak seni kakek yang sangat memukau. Aku hanya terdiam dengan sebuah senyum dan Kakek pun berdiri dengan sebuah senyum serta aku merasa kaget dengan gemuru tepuk tangan dan pujian orang disekitar padepokan serta murid murid kakek yang datang lebih awal dan tanpa aku sadari mereka semua melihat pertarungan kita berdua dari awal hingga akhir. Tepuk tangan dan pujian masih bergemuruh sampai kakek memberi isyarat untuk menyudahi tepuk tangan dan sorak sorainya, setelah itu Kakek berkata.

“Silahkan murid-muridku yang barusan datang, mendekatlah!, aku ingin memberikan sedikit petuah dan tolong disampaikan ke yang lain jikalau aku lupa menyampaikannya. Setiap apa yang kita laksanakan harus kita laksanakan dengan focus, konsentrasi dan menjiwai. Evan?” suara kakek tegas memanggilku. “Tolong lempar satu tongkat ke pohon beringin itu” lanjut suara kakek. Dan akupun menurutinya dengan melemparkan kepohon beringin yang berada didepan sampan kiri rumah, yang kebetulan tidak jauh dari situ dengan tenaga secukupnya, akan tetapi dengan tidak disangka, Kakek juga melemparkan satu tongkatnya kearah yang sama dan tongkat Kakek beradu membentur tongkatku sehingga tongkatku terpental dan tidak mengenai pohon beringin, bersamaan itu diiringi tepuk tangan yang gemuruh, sehingga kakek memberikan isyarat lagi supaya keadaan tenang.

“Evan, kamu masih mempunyai satu kesempatan lagi, coba fokus, konsentrasi, dan jiwai senjatamu dan lempar ke pohon papaya itu. Perintah Kakek seraya menunjuk pohon pepaya yang berada dipelataran rumah Kakek. Aku mulai sedikit ancang-ancang dan memcoba untuk focus,konsentrasi dan merasakan senjata yang aku pegang serta secepat halilintar aku melemparkannya, sehingga tongkatku melesat dengan cepat melesat ke pohon pepaya yang berada dipelataran rumah. Akan tetapi tongkat kakek juga melesat secepat kilat bersamaan dengan tongkatku, tongkatku membentur pohon pepaya dan tongkat kakek menancap ke pohon pepaya, bersamaan itu terdengar suara tepuk tangan dan ucapan kagum dari setiap orang disekitar dan dari murid-murid kakek yang sudah datang dari dulu.

Kakek hanya tersenyum dan mempersilahkan semua murid-muridnya untuk masuk

“Ayo semua, siap-siap untuk berlatih, kali ini aku ingin mengetahui sampai dimana padepokan Macan Loreng ini berkembang, aku ingin melihat secara langsung, seluruh muridku dan para pengajarnya” seru kakek dengan wajah sumringah

Terdengar beberapa murid dari Macan Loreng berbincang bahwasannya kakek hari ini lebih kelihatan gembira dan bersemangat setelah kedatangan cucunya, yaitu kedatanganku, padahal biasanya kakek jarang-jarang turun kelapangan, biasanya kakek hanya mengawasi seluruh latihan muridnya dari depan rumah yang kebetulan rumah itu masih kelihatan arsitektur jawa kunonya, dan biasanya setiap instruksi akan disampaikan kepada murid-murid seniornya saja dan kemudian disuruh menyampaikan kepada murid murid juniornya atau hanya disampaikan kepada pembesar-pembesar padepokan Macan Loreng. dalam latihan minggu-minggu sebelumnya kakek jarang kelihatan dan kakek hari ini kelihatan bersemangat sekali dan raut mukanya lebih ceria, mungkin kakek senang karena ada dari cucunya yang akan mewarisi ilmu beladiri Macan Loreng.

Meskipun sebelum latihan ini aku sudah berlatih dengan kakek bahkan sempat beradu tongkat ganda, akan tetapi tenagaku tidak jauh berkurang, mungkin aku sudah terlatih dengan latihan fisik, baik itu dari tempat latihan karateku maupun ketika aku latihan dirumah.

latihan sudah berjalan lancar, dan kakek memberi aba-aba untuk berkumpul. tak lama kemudian kakek angkat suara.

“Singkat saja, sebelum mengakhiri acara latihan pada hari ini, seperti biasa kita akan melihat ketangkasan dari beberapa murid padepokan Macan Loreng”

semua murid bertepuk tangan meriah dan saling membicarakan kelemahan dan kekurangan teman-temannya masing-masing.

Kakek memberi isyarat lagi untuk tenang dan diam “Tenang anak-anakku semua, coba siapa dari kalian yang ingin maju kedepan untuk menunjukkan ketangkasannya?”.

dengan sigap dan tenang seorang bernama Truno berdiri, dia murid Macan Loreng dari golongan senior tapi belum menjadi Seorang pelatih.

“Saya ingin mencobanya Romo Guru” ucap Truno dengan hormat dan sedikit membungkukkan badannya

“baiklah, sekarang siapa yang ingin melawan truno?” tanya kakek kepada golongan murid senior.

Aku melihat ada beberapa murid senior yang ingin berdiri melawan Truno, tapi seketika itu diurungkan dikarenakan gamitan tangan dari teman-temannya, dan dari kalangan murid senior itu ada melontarkan kata-kata

“Anak baru saja”

“Iya anak baru saja yang melawan Truno”

suara jadi merambah kesetiap murid dan semua murid mengusulkan untuk anak baru yang melawan Truno semua beryel-yel mengusulkan anak baru yang melawan Truno. Anak baru yang dimaksud itu adalah aku. Kakekpun memanggilku untuk maju ke depan.

“Cobak Ivan maju kedepan, perkenalkan dirimu kepada teman-teman barumu, dan bersiap siaplah untuk melawan Truno”

sorak soaraipun menggema suara tepuk tanganpun menjalar kesetiap murid Macan Loreng, mereka mengharapkan bahwasannya ini akan menjadi pertarungan yang seru

“Namaku Ivan, aku murid baru disini, senang berkenalan dengan seluruh murid Padepokan Macan loreng”

setelah itu ada seorang senior pelatih yang berdiri diantara Aku dan Truno, beliau memberitaukan aturan pertandingannya setelah itu kita bersalaman dan aku dan truno dipersilahkan untuk memulai pertandingan ini.

Aku dan Truno telah tegak berhadap-hadapan. Truno agaknya sudah tidak dapat bersabar lagi. Dengan serta-merta ia berkata kapadaku “Aku akan mulai Van

Sebelum Aku menjawab Truno telah meloncat bagaikan harimau lapar. Kedua tangannya terjulur lurus kedepan, tangan kiri Truno mengarah ke pundakku, sedang yang kanan melayang menuju perutku bagaikan cakaran harimau dengan keempat ujung-ujung kukunya.

Namun Aku tidak sedang melamun. Karena itu, dengan tangkas aku melompat kesamping dengan menggeser kuda-kudaku sambil merendahkan diri. Sehingga serangan Truno itu terbang beberapa jengkal dari tubuhku. Bahkan demikian serangan Truno itu lewat, segera Aku membalasnya dengan sebuah serangan pula. Sebuah tendangan menyamping pada lambungnya.

Tetapi Truno itu benar-benar tangkas. Meskipun tubuhnya masih melambung karena terseret serangannya, ia berhasil menggeliat dan menghindari seranganku.

“Hem” Aku menggeram. “Tak Aku sangka murid padepokan Macan Loreng disini benar-benar tangkas Kataku dalam hati

aku sedikit kagum kepada Truno karena tubuhnya dapat bergerak selincah burung walet yang menari-nari diudara pada senja hari diatas pantai. Geraknya cepat dan cekatan. Sekali-sekali ia mampu menerkam seperti macan, namun kadang-kadang ia menyambar bagaikan harimau.

Tetapi Aku sendiri tidak tinggal diam. aku bertahan bagaikan seekor burung rajawali yang tangguh. Dengan kedua tanganku yang kokoh kuat, sekuat sayap-sayap rajawali, aku selalu berhasil melindungi tubuhku dari sergapan dan cengkraman yang tiba-tiba. Bahkan sepasang kakiku itupun tidak tinggal diam. Dengan tendangan-tendangan melingkar yang berbahaya kakiku merupakan sebuah serangan tajam disamping gerak tanganku yang csigap dan cekatan. Sehingga Aku seakan-akan memiliki serangan – serangan reflek yang tidak aku sadari serta aku mempunyai kesadaran-kesadaran dalam berfikir secara tangkas untuk dapat mengatur serangan kaki dan tanganku.

Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin lama semakin seru. Truno yang garang menjadi semakin garang, dan Aku yang kokoh serta cekatan itupun menjadi semakin tangguh. semua murid dan pembesar padepokan seakan-akan terperangah dengan pertarungan ini.

Kini kita berdua seakan-akan telah larut dalam sebuah lingkaran yang berputar-putar. Gejolak perasaanku seakan-akan tak terkendali lagi. Kita saling menyerang, bertahan dan saling melilit dalam gerakan-gerakan yang sulit dibaca dan membingungkan. Tetapi Truno dan Aku tidak menjadi bingung karenanya. Meskipun tangan Truno yang buas itu bisa menerjang dan menjadi cakar-cakar yang ganas serta menyerang dari segenap penjuru, namun kakiku seolah-olah menjadi berpuluh-puluh bayangan, melontar-lontarkan kuda-kudanya dari satu titik ketitik yang lain. Sekali-kali terjadi benturan antara seranganku dan serangan Truno. Namun ternyata kekuatan kita tak jauh berbeda.

Terkadang Aku terdorong surut oleh serangan Truno, namun terkadang Truno terlempar beberapa langkah oleh seranganku. Kalau kita dalam kesiapan yang sama, maka setiap benturan yang terjadi akan memaksa kita untuk beringsut beberapa langkah mundur.

Ketika peluh telah membasahi tubuh kita berdua, maka pertandingan yang kita lalui itupun menjadi bertambah sengit. Sekali-kali Truno harus merasakan, betapa dadanya sedikit bergetar oleh pukulan tanganku yang melesat masuk kepertahanannya. Selangkah ia terdorong surut, dan sebelum ia bersiaga dengan pertahanannya serta berkonsentrasi kepada seranganku, Tendangan kerasku telah menyusulnya. Kembali tubuh Truno terhentak kebelakang. Namun ketika sekali lagi pukulanku menyambar kedadanya, Ia berhasil menghalaunya dan mendaratkan sebuah pukulan dilambungku dan akan menyusulkannya dengan sebuah tendangan.

Kali ini, Aku sendiri terseret oleh tenaga pukulanku dan ditambah pukulan Truno sehingga, hampir saja aku tidak mampu membendung tendangan Truno yang menyusul begitu cepat. Untunglah pengamatan dan konsentrasiku masih terjaga, sehingga ketika sebuah tendangan mengarah kebagian atas tubuhku, Akupun segerah merendahkan diri. Tetapi Trunopun cukup sigap. Ketika disadari bahwa tendangannya tidak mengenai sasaran, cepat-cepat ia menghujamkan kakinya lagi untuk menyerang dadaku. Aku yang sedang merendahkan diripun terkejut. akupun tidak sempat untuk mengelak, dan yang dapat aku lakukan hanyalah, menyilangkan tangan kananku untuk melindungi dadaku dan menghantamkan siku kiriku untuk meredam tendangan truno yang kuat sekali.

Benturan kekuatan antara pertahananku dan serangan Trunopun telah mendorong tubuh kita masing-masing masing-masing beberapa jengkal. Dan sesaat kemudian kamipun telah berloncatan kembali, saling menyerang dan saling bertahan.

Truno yang lebih kokoh itupun memiliki nafsu dan tenaga yang lebih baik daripada aku, namun setidaknya Aku memiliki ketenangan dan pengalaman bertarung di arena yang tidak kalah jauh dari Truno. Oleh karena itu , maka dengan pengalaman dan kejelian yang aku punya, Aku selalu dapat menyesuaikan diriku, sehingga meskipun Truno lebih banyak mengeluarkan serangan-serangannya, namun keadaanku tidak seberapa mencemaskan.

Sekilas terlihat sebuah kecemasan diraut wajah Truno, mungkin karena setelah ia berkelahi beberapa lama, ternyata Aku masih dapat melawannya dengan baik, sebaik pada saat pertandingan baru mulai. Meskipun Aku dapat mengirah, bahwa Aku tak akan dapat memenangkan perkelahian ini secara telak, tetapi diraut wajah Trunopun menggambarkan sebuah kegelisahan, bahwa iapun tak akan dapat pula memenangkan pertandingan ini.

kali ini Truno mencoba mengumpulkan tenaganya, dan aku pun mulai bersiap-siap, karena Truno akan menjadi seekor harimau loreng yang sedang lapar. dugaanku benar dengan segala tenaga Truno meloncat jauh kedepan dan mengarahkan sebuah dengkul kakinya pas ke ulu hatiku, dan sebegitu kerasnya sampai aku harus menahan serangan itu dengan kedua tanganku sehingga pertahanan bagian atasku terbuka dan sikut Trunopun masuk ke tengkuk belakangku sehingga aku terhuyung kedepan dan aku terjungkal, tapi kesempitan ruang gerak ini adalah sebuah kesempatan yang aku pergunakan untuk menghentakkan tumit belakangku keatas dan menuju ke arah leher Truno sehingga tendanganku nyaris menyerupai gaya sengatan ekor kalajengking.

kamipun sama-sama rebah dan pelatih senior yang menjadi wasitpun menghentikan pertandingan. deruh suara tepuk tangan dan rancuan dari setiap mulutpun terdengar. pelatih senior yang menjadi wasit kita telah menggenggam kedua tangan kita dan mengangkat kedua tangan kita ke atas seolah olah meninju keatas langit. setelah itu Aku bersalaman dengan Truno, dia melemparkan sebuah senyum kecil dan aku membalasnya juga dengan sebuah senyum.

pertandingan selesai dan latihanpun selesai. Aku sedikit beristirahat dulu dan saling berbincang dengan pembesar-pembesar macan loreng yang sebagian besar aku sudah mengenalnya karena setiap akhir bulan kami selalu mengunjungi Kakek dan terkadang berbincang dengan salah satu pembesar padepokan macan loreng.

Tak terasa hari sudah semakin sore dan aku berpamitan kepada kakek

“Kek?, Ivan mau pamit dulu Kek. Besok latihannya hari apa saja Kek?”

“Hari apa saja terserah Ivan”

“Ahh Kakek, Ivan Ingin Aktif mengikuti Latihan Macan Loreng ini Kek”

“Ya berarti setiap hari kamu harus kesini untuk ikut latihan”

“Setiap hari Kek?” Tanyaku kepada Kakek

“Ya, setiap hari, katanya Pingin aktif”

“Ahh Kakek bisa aja”

“Baiklah setiap hari selasa dan hari sabtu dan untuk senior ditambah hari rabu, tapi kalau kamu ingin setiap hari kesini untuk berlati, Kakek juga tidak keberatan melatih kamu, malahan Kakek merasa senang sekali”

“Baik Kek, Ivan Pamit dulu” aku berpamitan kepada kakek sekalugus mencium tangannya

Setiap habis sekolah aku langsung menggeber motor Ninjaku kerumah Kakek, hitung-hitung jarak dari Kota Surabaya kekota Mojokerto hanyalah setengah jam. Aku sangat bersemangat sekali mengikuti latihan ini tapi aku juga bingung, apakah aku memang benar-benar suka dengan beladiri tanah Jawa ini yang salah satu cabang ilmunya adalah dipadepokan Macan Loreng itu, atau ini hanyalah sebuah pelampiasanku kepada keadaan yang terjadi dikeluarga, atau aku sama halnya seperti Kak Icha yang menginginkan sebuah dunia lain yang memasuki dan mempengarui seluruh jiwa dan raga ini, tapi entahlah yang penting aku melakukan apa yang sudah ada didepan mata saja, meskipun aku tahu bahwa didalam hatiku terukir dikit demi sedikit permasalahan keluarga yang tak kunjung redah dan terkadang aku juga memikirkan kakak pertamaku yang sekolah diluar negeri, Kak Firda, ya Kak Firdah, akankah Kak Firda juga mengetahui keadaan dirumah sini?.

Setelah lama aku bolak-balik Surabaya-Mojokerto, akhirnya aku memutuskan untuk tinggal dirumah Kakek dan pindah sekolah dikota Kakek. Kakek sangat mendukung bahkan merasa gembira apabila aku tinggal dipadepokannya, tapi Ibu dan Ayah tidak mengijinkan karena faktor sekolah lah, jauh dari rumah lah dan berbagai alasan baik yang masuk akal maupun yang tidak masuk akal menurutku. sedikit demi sedikit Aku membujuk Ibu dan Ayah untuk membolehkanku tinggal dan bersekolah ditempat Kakek. Akhirnya sedikit demi sedikit aku bisa mengambil hatinya dan diperbolehkan untuk tinggal dirumah kakek, tentunya Ayah dan Ibu mengizinknku dengan berbagai syarat. tapi yang penting aku bisa tinggal di tempat Kakek karena tidak aku pungkiri bahwasannya aku merasa jenuh berada dirumahku sendiri.

Sekolah baruku

Aku diterima di SMA Negeri Dua Mojokerto. Di sekolah yang baru ini, aku mempunyai sebuah harapan. Aku mengharapkan sebuah permulaan yang baik. Sepintas aku merasakan suasana yang biasa-biasa saja. Aku berkenalan dengan murid-murid yang lain. Aku belajar layaknya murid-murid yang lain

Bel sekolah berbunyi, tandah sekolah sudah selesai. Aku membereskan semua peralatan sekolahku dan keluar menuju tempat parkir.

“Evan!” suara seseorang memanggilku

“....” Aku menghadap kebelakang. ada seorang gadis dengan rambut sebahu dan berhidung mancung dengan kulit putih bersi sedang berlari-lari kecil ke arahku.

“Evan!, Nama kamu Evankan?” tanya gadis itu.

“Iya, aku Evan!” Jawabku

“Aku Yuliana!” jawab gadis itu bersama menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

“Oh, iya, senang berkenalan denganmu”

“Kamu mau langsung pulang?” tanya Yuliana dengan sebuah senyum dibibirnya.

“Iya, aku mau langsung pulang”

“Kamu’kan anak baru?, Apa ‘ngak ingin keliling-keliling sekolahan dulu?, biar kamu tauh ruangan-ruangan di sekolah ini!”

“Emmmm, baiklah” jawabku sedikit malu-malu dan menggaruk-garuk rambut kepalaku yang tidak gatal

“Ya sudah, ayo, aku tunjukkan ruangan dan kelas-kelas disini.

Yuliana dengan semangat memberitahu aku ruangan-ruangan di sekolah ini. Mulai dari ruangan tempat olah raga, alat-alat olah raga, Laboratorium Biologi, laboratorium Fisika, laboratorium Komputer, dan ruangan-ruangan lainya. Serasa, seluruh ruangan di sekolah ‘tak satupun yang terlewatkan. Kelihatannya dia senang sekali, setiap kali kulirikkan mataku, selalu ada senyum manis yang menghiasi wajahnya.

“Kamu, juru kunci sekolahan ini Yul?” tanyaku sembari sedikit tersenyum.

“Jangan panggil Yul dong! ‘Kan teman-teman disini manggilku Liana!”

“Jadi manggilnya apa dong? Li, apa Ana?”

“Apa aja, yang penting jangan Yul!”

“Ya sudah, aku panggil juru kunci saja ya?”

“Aaaaaaaaaah, gak mau, gak mau, gak mau” tolak Liana manja, sembari memukul-mukul pelan ke lengan kananku. Aku hanya tersenyum dan berfikir, kenapa Liana tak canggung denganku?, sikap dia kepadaku seolah-olah aku teman lamanya. Bukankah aku anak baru?. Sambil berjalan kita membicarakan hal-hal tentang sekolah, mulai dari extra kulikuler, organisasi, dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Di saat Liana dan aku ingin kembali keparkiran, aku merasakan suatu benda yang datang dari sebelah kiriku. Aku menoleh dan kulihat sebuah bola melayang keras ke arah wajahku. Dengan tidak sengaja karena gerakan reflekku, maka aku meninju bola itu, sehingga bola itu terpental jauh karena kerasnya tinjuku dan kerasnya bola itu melayang ke arahku. Aku arahkan tatapan mataku ke sosok anak yang tidak jauh dariku dimana bola itu berasal.

“Sorry, gak sengaja!” kata anak yang menendang bola itu. dia langsung melangkah berpaling muka tanpa menungguh jawaban, dan mengambil bolanya.

“.......”

“Sudah, ayo kita pulang!, ‘Gak usah difikirkan” kata Liana kepadaku.

“Kamu mau barengan sama aku” tanyaku dengan senyum meskipun ada secerca fikiran yang berkecamuk dikepalaku

“Oooh ‘gak, terimakasih, emang rumah kamu dimana?”

“Aku tinggal di Ringin Anom”

“Emmmm, aku tinggal di Jabon. Jadi arah kita berbeda” jawab Liana dengan senyum yang ramah

“Li?”

“Ya” jawabnya cepat

“Tadi yang nendang bola itu siapa”

“Hamzah, anak kelas IIC. Ya sudahlah jangan difikirkan, mungkin dia ‘gak sengaja”

“Atau mungkin dia cemburu sama aku Li?”

“Cembuuru?’ Emang aku siapanya dia?” jawab Liana dengan manja

“Yaaaa, kali aja dia suka sama kamu?”

“Aah, kamu bisa aja. Ya sudah, kita mau pulang?, apa mau ngobol ditempat parkiran gini?. Atauuuu kita cari tempat ngobrol yang lain?” tanya Liana sedikit menggoda dan tersenyum ramah.

“Hehehehe, maaf. Ya sudah, sampai ketemu besok”

“Besokkan hari libur, emang kamu mau ketemu aku?. Mentang-mentang barusan masuk sekolah. kirain hari senin ya mas?” jawab Liana sembari menyolekkan jarinya ke arah lambungku, sehingga aku sedikit kaget dan geli.

“ya sudah Li, sampai ketemu hari senin ya?” pamitku kepadanya

“Oke, ati-ati di jalan!”

“Makasih Li, aku duluan ya?”

“oke”

Di sepanjang jalan kadang aku berfikir tentang diriku dan Liana, padahal pertemuanku dengannya barusan saja, kenapa dia begitu akrab denganku?, Ah, mungkin saja dia orang yang memang asyik dan mudah bergaul. disaat lamunanku mengembara menyusuri jalan, aku melihat seorang anak laki-laki yang menuntun motornya, dan sepertinya itu anak SMA Negri 2. Aku menghampirinya dan bertanya.

“Kenapa motornya?”

“Gak tauh, mungkin kehabisan bensin” jawab anak itu singkat

“Ya sudah, gimana kalau kamu naikin saja, terus aku tarik, sembari aku menaikin motorku?” ajakku kepadanya sembari mengulurkan tangan sebelah kiriku untuk menariknya.

“Oke”

“........”

“Kamu anak baru?”

“Iya, barusan hari ini aku masuk kelas”

“Pantesan, aku baru melihatmu tadi”

“Dimana?, memang tadi kamu sempat perhatiin aku?

“Sepintas”

aku hanya tersenyum dan berkata “Oya, kita belum berkenalan. Namamu siapa?”

“Wahyudi. Panggil saja yudi”

“Aku Evan. Maaf ya?, kenalannya pakek tangan kiri, sekalian sambil narik” candaku kepadanya

“Santai saja” jawabnya dengan senyum yang sedikit kaku.

“....”

“Rumah kamu dimana?”

“Di Ringin Anom”

“Kita searah dong?” jawab Wahyudi

“Emang, rumah kamu dimana?” tanyaku balik kepadanya

“Di Jalan Empu Nala”

“Yud?, itu, didepan ada Pom Bensin”

“Makasih Van, ‘da mau membantu”

“Tenang aja, aku anterin dulu sampai Pom Bensinnya”

“Gak Van, biar aku tuntun saja, kebetulan aku lagi ‘gak bawa uang”

“Ya sudah, pakek uangku saja!”

“Gak Van, terima kasih”

“Sudahlah, santai saja, toh kita juga satu sekolahan” Paksaku kepadanya

“Aku gak enak, baru kenal sudah ngerepotin. Aku jadi hutang budi nih?”

“Gak Ngerepotin kok, lagi pula gak sampai segitu kali Yud”

Percakapan kita terus berlangsung sampai motor Yudi terisi bensin. Kita pulang bersamaan, dan sesampai di bengkel kecil disamping Jl. Mpu Nala, Yudi melambaikan tangannya untuk memberi isyarat menepi. Yudi berhenti didepan bengkel, dan akupun merapat disampingnya.

“Ini tempatku” tunjuk yudi dengan menganggukkan kepalanya.

“Oh ini bengkel Kamu?”

“Iya. Masuk dulu yuk!”

“Terima kasih Yud, mungkin lain kali saja”

“Ya sudah, terima kasih banyak ya Van?”

“Oke, sama-sama, aku duluan ya Yud?” sambil berpamitan, aku menggeber motorku.

Sesampai di rumah Kakek, aku sedikit merebahkan diriku. Aku layangkan segala lamunanku. Ada sedikit yang mengganjal dengan kelakuan Hamza, mengapa dia menendang bola keras kearahku?. Tapi sudahlah, mungkin dia tidak sengaja, begitupula dengan sikap Yuliana, kenapa dia begitu akarab sekali denganku?, padahal kita baru satu kali itu bertemu. nama yudi juga ikut menggelanyut dalam fikiranku. sudahlah, mungkin ini sebuah hal yang wajar bagi seorang murid disekolahan barunya.

Seperti biasa, sore itu aku bersiap-siap untuk latihan beladiri Macan Loreng. sambil menunggu murid-murid kakek berkumpul, aku menghapalkan jurus-jurus yang barusan aku pelajarin kemarin, jurus-jurus dasar yang diwajibkan untuk setiap murid padepokan Macan Loreng dan aku juga mengulangi jurus-jurus yang diajarkan kakek secara kusus kepadaku. aku merasakan ada beberapa sorot mata yang mengikuti setiap gerakku.

“Van?” Suara seseorang memanggilku.

“Eh, Mas Warso, ada apa Mas?”

“Nggak, Aku senang saja melihat kamu semakin giat belajar, dan aku juga senang melihat gerakan jurus-jurusmu.”

“Ah, nggak ko mas, cuman sekedar menghapal lagi, sekalian nunggu murid-murid Kakek mulai latihan”

dan tiba-tiba suara deru .

Disekolahan yang baru ini aku mencari bernbagai aktifitas yang bisa menyibukkan diriku sehingga membuat aku lebih nyama, ada beberapa wanita yang aku suka dan ada beberapa yang menyukaiku tapi juga ada beberapa anak yang tidak suka dengan aku

Harusnya aku tidak berkelahi

Pertikaian antar sekolah yang melibatkanku karena ulahku berhubungan dengan safitri teman sekolahku yang tak lain adalah pacar Jimmi anak STM 46 yang merupakan rival anak sekolahku dalam hal unjuk kekuatan

Aku adalah elang

Setelang lulus sekolah akupun berharap bisa belajar ke Jerman tapi harapanku untuk bersekolah di Jerman menjadi sia-sia karena usaha Ayah hancur dan Ibuku juga ditipu oleh rekan dekatnya sehingga jatah persiapan uang kuliahkupun ikut2tan lenyap, tapi Ibu membesarkan hatiku dan memberi dorongan untuk tetap tegar dan memupuk semua impian itu menjadi sebuah semangat dan energy positif. Aku mengikuti LSM yang dipimpin teman mama untuk melestarikan hutan mangrove dan penanaman pohon jati di kabupaten Bima di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Setelah perlengkapan dan perbekalan selesai serta segala kebutuhan yang diperlukan sudah dikemasi kedalam mobil Astrada double cabin, semua tim kami berangkat dengan dua mobil yang berjumlahkan 7 orang, sebenarnya jumlah kita ada 14 orang dan yang tujuh orang akan berangkat esok hari menggunakan pesawat.

Kapal eliza

Setelah kita menyebrang laut dari banyu Wangi menuju Bali dan sekarang Bali menuju Lombok dan setelah itu dari lombok menuju mataram. Perjalanan diatas kapal yang kurang lebih memakan waktu sekitar 4-5 jam itulah aku bertemu dengan gadis yang benama halidah, pertemuan kita diawali ketika dia tiba-tiba meloncat dari kapal karena keputus asaannya dengan keluarga dan laki2 yg dicintainya dan aku tak berpikir panjang lagi setelah melihat dia meloncat dari kapal akupun menyambar sebuah pelampung yang tertambat di dinding kapal, dan sambil berlari kusempatkan membuka baju dan akupun meloncat ditempat dia meloncat, akupun bergulat dengan gelombang malam yang sedemikian dasyatnya dan kutahan rasa dingin yang memasuki tulangsumsumku untuk menemukannya

Cuaca malam ini sangat buruk, angin sangat kencang hinga kapal yang aku naiki bergoyang goyang tidak karuan, kulihat di kabin kapal banyak orang dengan raut muka kawatir yang dibalut dengan suara isak tangis anak-anak kecil dalam dekapan hangat ibunya, dan tidak banyak pula suara doa seerta dzikir membasahi bibir-bibir yang penuh denga ketakutan. Dalam hatiku aku cuman merenung, jikalau sudah dilautan lepas seperti ini dan kita hanya segelintir manusia- manusia bedebah yang hanya penuh dengan keluh kesah , siapa lagi yang akan menolong, akan kah harta benda kita, ataukah nama besar kita di depan manusia. ah sudah lah, ajal kan sudah pasti datang, tinggal penentuan waktu saja.

Dan tak lama kemudian banyak awak kapal yang turun dan membaur dengan para penumpang seraya berusaha menghibur

“Tenang ya adek manis tidak apa-apa kok”

”Tenang ya Bu, Insya Allah sebentar lagi cuaca akan membaik”

“Gak papa ko pak, hal seperti ini sudah sering terjadi”

Dan masih banyak lagi kata-kata awak kapal yang menghibur

Kepada para penumpang, meskipun tidak banyak yang menimpali dengan keluh kesah, karna keadaan belum juga berubah.

“Mas,kira kira sampai di pelabuhan Bajo kapan ya mas?”tanyaku pada awak kapal yang kebetulan lewat di depan ku.

“Emmmm,mungkin besok pagi mas, karma cuaca buruk, jadi kemungkinan agak terlambat”jawab awak kapal itu dengan senyum yang ramah.

Awak kapal itu kemudian duduk disampingku dan tidak

melanjutkan jalannya.

“Dari sekian banyak penumpang di kapal ini, sepertinya mas saja yang kelihatan tenang?”Tanya awak kapal.

“Karna saya yakin, saya akan tetap kembali pulang untuk memenuhi janji

Keperawanan yang terjamah

Setelah kita sampai dibasecam tempat kita bertempat tinggal dan sebagai pusat pengembangan dan pembudidayaan Pohon mangrove dan pohon jati. Kamipun menurunkan semua peralatan dan beristiraha sejenak, satu jam kemudian kami melakukan peninjauan ketempat tempat hutan mangrove dan bekas hutan mangrove perna tumbuh. Ada 1 tim lagi yang meninjau tentang hutan pohon jati untuk mengembangkan pohon jati, kebetulan aku ikut meninjau bagian hutan mangrove dan sore sekitar jam 4 kami berkumpul untuk mengadakan evaluasi bersama dan setelah evaluasi bersama kamipun mengadakan rapat yang terbagi ditim masing2. Dari hasil evaluasi itu kami menyimpulkan bahwasannya keperawanan hutan pohon jati dan hutan mangrove sudah terjamah entah karena desakan ekonomi atau oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab sekalipun. Peninjauan akan kita lanjutkan esok hari untuk mengetahui mengapa banyak pohon2 yg ditebang sesukanya. Di wilayah ini pula aku menyempatkan untuk mengajar anak-anak yang berada dipedesaan yang akhirnya dengan dengan Ifa dan goresan cerita tentang kita berdua terukir di Kota Bima ini

Langkah Baru

Setelah hampir setahun aku bersama tim pengembangan dan pelestarian hutan mangrove dan hutan jati, akupun kembali ke Surabaya dan dari situ aku memustuskan untuk melanjutkan pendidikanku di bangku perkuliahan di Jakarta, aku bersama pamanku.

Pamanku seorang yang disiplin, karena beliau pensiunan Angkatan Laut

Gunung Ciputri

Aku berharap bahwa dikampus biru ini segala sesuatu akan berubah menjadi baik, ternyata tidak. Pertemuanku dengan Nova anak fakultas ilmu Hukum membuahkan sebuah drama dan tragedy, dan gadis yang bernama Terisa itu juga membuatku terpojok dalam kesulitan belum lagi Lusi adik angkatku yang terjerat dalam anggota N11 yg tidak jelas sehingga dia kehilangan harta benda dan dia selalu mendapat ancaman, terror yang berbau kekerasan dikarenakan diberusaha keras untuk keluar dari kelompok itu sehingga aku putuskan untuk menggalang teman2 dekatku untuk tandang ke tempat berkumpulnya gerakan itu dan kita menyergap secara tiba-tiba dan didalam rumah dimana gerombolan itu berkumpul akupun tanpa pikir panjang segera meloncat diantara kerumunan orang itu dan mengincar seseorang yang menjadi pimpinan gerakan itu seraya mengalungkan sebuah celurit dilehernya dan berkata dengan mengancam”………………… “. Akirnya aku bisa membawa Lusi keluar dari gerombolan itu dan membawanya ke pesikiater untuk menyembuhkan beban mental dan jiwanya. Tapi ini bukan akhir dari segalanya, aku masih mempunyai sebuah permasalahan yang berkecamuk didalam rongga hati ini, permasalahan itu menyangkut Nova dan Terisa. Aku merasa larut kedalam dunia kekanak-kanakan, akupun tidak tahan dengan ini semua. Hingga datanglah Bara menghampiriku dan mengajak aku naik ke Guung Ciputri bersam 2 orang teman lainnya, Hendrik dan Prasetya sampai tim kami bertemu dengan tim Mapala lainnya di Terminal Lebak Bulus dan kami berangkat bersama-sama sampai akhirnya aku bertemu dengan seorang wanita yang bernama Devi dan pertemuan kita terulang untuk kedua kalinya ketika kita saling berjumpa di taman Surya Kencana

Hatiku Tertambat Padamu

Hatiku tertambat padanya dan akupun merasa dia akan menjadi seseorang yang selalu manis disampingku, menemaniku dalam suka dan duka dan menjadi orang yang paling mengerti diriku. Harapanku kepadanya hanyalah sia-sia, angan–anganku kepadanya hanyalah impian belaka yang tak akan pernah menjadi kenyataan karena dia berpaling dan menghianatiku untuk kedua kalinya. Hari demi hari aku lalui dengan sebuah sumpah yang tak akan pernah memafkannya meskipun dia akan ditakdirkan menjadi pendampingku kelak, aku tetap berjanji bahwa dia hanya akan mendapatkan ragaku bukan jiwa, cintah dan hatiku. Luka ini begitu dalam serasa hatiku tergores sejuta luka dan teriris iris beribu sembilu.

Aku tak akan pernah memilih

Tak terasa liburan semester sudah tiba, aku pulang ke Surabaya dan bertemu dengan Karina anak perempuan dari bibi kakak iparku. Aku bercerita tentang semua sakit yang tak tertahan lagi ini kepadanya sehingga, aku tak terasa wajah yang begitu damai direbahkan di dadaku. Nafasnya menghangati seluruh rongga dadaku. Sungguh, aku lemah dalam kepasrahan dan aku tak sanggup untuk menghindar meskipun begitu banyak tetesan luka dan airmata didalam jantung dan hatiku.

Sejenak dia bangun dengan sorot mata dan raut wajah yang aku mengenalnya dari berpuluh-puluh perempuan dan dia menatapku dalam-dalam dan berkata ”mas, klo mas membolehkanku, izinkan aku untuk menemani mas dan menjadi pendamping mas Evan, karena aku sayang dengan mas Evan”.

Aku sedikit tersenyum dan memegang kedua pipihnya yang indah dan dihiasi lesung pipih yang manis ”Aku senang mendengar kamu menyayangiku tapi kamu tak sungguh-sungguh mencintaiku. Kamu hanya kasihan padaku," ucapku kepada karina.

Karina tertegun. Dia sangat terkejut mendengar pernyataan yang secara tidak langsung merasuk ke sumsum dadanya."Cinta kasihmu kepadaku tidak lebih dari seorang adik ke kakaknya," sakali lagi aku menegaskan perkataan itu dengan senyum sebelum dia sempat menjawabnya. "Kamu hanya kasihan padaku, tidak lebih." Dia masih dalam keadaan terperanga tetapi tetap tenang dan senyum karena dikit demi sedikit dia sudah bisa menguasai dirinya. Dia tetap diam membisu seribu kata. Dia begitu bingung dengan pernyataanku. Namun tiba-tiba dia melemparkan sebuah pertanyaan dengan sorot mata yang menyakinkanku

”Benarkah demikian?”

”Iya, sorot matamu yang mengatakan itu”

”Tidak mas, aku sayang dan cinta kepada mas setulus hatiku” ungkapnya kepadaku dengan sebuah tatapan mata yang indah dan berkaca-kaca.

”aku tau kamu hanya kasihan padaku karena disaat kita bertemu, kamu hanya melihatku dalam keadaan kacau. Itu saja. Aku sudah tak percaya pada cinta lagi karena cinta itu adalah anugrah indah yang hanya membuat kita terluka. Mungkin karena aku belum perna merasakan cinta sejati dan mungkin tak akan pernah mengalaminya. Pada dirimupun demikian Karina. Kamu cantik, itu benar. Tetapi hanya lidahku yang mampu bergetar untuk mengucapkan kecantikanmu, bukan cintaku. Satu hal yang wajar karena aku laki-laki yang bisa menilai keindahan, kecantikan, dan kebahagiaan meskipun itu semuanya relatif. Aku juga laki-laki dewasa yang cukup normal, yang akan bergetar hasrat bila melihat perempuan cantik seperti.....” belum selesai aku berbicara sebuah kecupan mendarat hangat dibibirku.

Cukup hanya luka ini yang bersemayam

“Terima kasih karina atas segalah semangatmu dan sedikit tiupan ruh kedamain dalam jiwaku sehingga kamu bisa menghidupkan sebagian jiwaku yang telah mati, tapi kamu tak pernah bilang bahwa Toni lebih dulu dariku”

“Maafkan aku mas, tapi kasih sayang dan cintaku kepada mas Evan jauh lebih besar dan aku tak rela melihat mas Evan larut dalam kesedihan yang tak berujung ini”

“Biarkanlah karina, Tuhan tidak tidur dan Tuhan tau akan setiap persolan hambanya”

“Aku masih menyayangimu mas, sayang ini bukan sekedar rasa kasihan kepada mas Evan, tapi sayang ini adalah guratan cinta yang sesungguhnya”

“ Kembalilah kepada Toni adikku sayang, jangan sampai dia beranggapan bahwa kamu menghianatinya, karena tiada luka hati yang sulit disembuhkan melainkan luka hati yang timbul dari penghianatan. Seorang kakak perna merasakan apa yang dirasakan seorang adik tetapi seorang adik belum merasakan apa yang perna dirasakan kakaknya”

“Aku menganggap Toni sama seperti teman-temanku yang lain Mas, beda dengan Mas Evan”

“Tapi anggapan Toni ke padamu tidak sama dengan anggapanmu kepada teman-temanmu. Kamu orang yang sepesial buat dia”

“ Tapi aku tidak mau Mas Evan meninggalkanku”

“ Karina. Cukup pedihnya penghianantan mas Evan saja yang merasakannya, bukan kamu atau Toni yang merasakan, dan cukup hanya luka ini yang bersemayam dihidup masmu ini”

Genggaman Karina semakin erat, seolah-olah seorang adik yang tidak mau melepas kakaknya yang akan pergi menaiki kereta senja yang akan pergi dan takkan kembali.

Kamulah kabut mimpi

Sekembaliku ke Jakarta aku berjumpa lagi dengan Devi, itupun karena dia yang memaksaku untuk bertemu dengannya dan dia berusaha untuk mengajakku kembali menjalin hubungan, tapi apa daya hati ini sudah terlalu pedih untuk tersakiti, dan hati ini takkuat lagi mengingat semua mimpi yang perna kita lewati, mimpi berselimutkan kabut berduri yang seolah-olah merobek kulit jangat ini. Kamulah kabut mimpi itu

Izinkan aku hidup tanpa wanita

Sekarang Aku tinggalkan semua bayang bayang masa depanku, kuliah, bisnis ayah, usaha-usaha yang sudah dirintis oleh Ibu dan yang lain-lain, karena aku ingin memutuskan kembali ke Nusa Tenggara Barat lagi, untuk bersemayam, mengajar anak-anak kecil, mencintai alam, melestarikan hutan mangrove, membangun sebuah desa kecil dan hidup sendiri dalam segala kesederhanaan seorang hamba, sendiri,sendiri dan sendiri. Aku tidak berharap seorang pendamping, aku tak berharap mempunyai istri dan aku tak berharap untuk sebuah pernikahan, maka dari itu Tuhan izinkan aku tak akan menikah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar